Seorang aktor tidak hidup. Ia bermain dan harus bersikap dingin terhadap objek yang ia perankan, tapi seni yang ia pertunjukkan harus merupakan sesuatu yang sempurna. Seni penyajian memerlukan kesempurnaan kalau ia masih ingin diterima sebagai seni.
Seni bukanlah hidup sebenarnya dan bukan pula suatu pantulan. Seni adalah pencipta, ia menciptakan kehidupannya sendiri, ia indah dalam abstraksi, mengatasi batas waktu dan ruang. Teater sebagai seni adalah sebuah konvensi, sebuah persemufakatan, dan panggung tidak punya sumber-sumber yang cukup kaya untuk menciptakan ilusi kehidupan sejati, oleh karena itu teater tidak boleh manjauhi konvensi.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, aktor harus tahu apa yang dirasakan di atas panggung. Hal semacam ini disebut penghayatan. Tanpa penghayatan tidak akan mungkin ada seni yang sejati karena ia dimulai pada saat perasaan beroleh bentuk. Permainan mekanis dimulai ketika seni kreatif berakhir. Dalam permainan mekanis tidak ada panggilan untuk suatu proses yang hidup dan ia muncul hanya secara kebetulan. Aktor yang pintar akan dapat memahami permainan mekanis ini lebih baik jika sudah tahu asal usul dan metode permainan mekanis yang dinilainya sebagai “stempel karet”. Untuk mereproduksi perasaan, kita harus sanggup memisahkan perasaan-perasaan itu dari pengalaman-pengalaman. Tetapi, karena aktor-aktor mekanis tidak punya pengalaman perasaan, mereka tidak mungkin bisa mereproduksi hasil lahiriah mereka. Seorang aktor harus melindungi dirinya terhadap factor yang paling buruk ialah, bahwa klise-klise ini cenderung untuk mengisi setiap bagian yang kosong dalam sebuah peranan yang tidak selalu padat dengan parasaan yang hidup. Biar bagaimanapun pandainya seorang aktor memilih konvensi-konvensi panggungnya, karena sifat konvensi yang mekanis ini, maka cara-cara itu tidak akan dapat membuat penonton terharu. Ia memerlukan suatu alat tambahan untuk menimbulkan haru itu, dan karena itu ia menyelamatkan diri dengan apa yang disebut emosi teatrial. Aktor-aktor yang mempunyai sifat sangat sanggup bisa membangkitkan emosi teatrial dengan jalan menegangkan syaraf mereka; usaha ini akan menghasilkan histeria teater, ekstasis yang tidak sehat, dan biasanya tidak memiliki isi yang mendalam, sama seperti keharusan fisik buatan
Permainan yang mekanis hanya bisa ditumbuhkan dengan persiapan yang lama. Calon aktor sebaiknya punya bakat, bisa saja secara kebetulan, dan untuk jangka waktu yang pendek, mengisi sebuah peranan dengan baik. Semua cara untuk menggambarkan perasaan secara umum ada dalam diri kita semua. Dan mereka dipakai tanpa hubungan dengan kenapa, untuk apa, atau keadaan di mana seorang mengalaminya. Jika permainan mekanis mempergunakan pola-pola yang sudah selesai untuk menggantikan perasaan sejati, maka over-acting atau permainan yang dibuat-buat meraih konvensi manusia yang umum sifatnya yang pertama-tama ia ingat lalu mempergunakannya tanpa mengasahnya atau mempersiapkan lebih dulu sebelum dibawa ke panggung. Menghilangkan cara bermain yang over-acting, usahakan untuk mengelakkan semua pendekatan yang salah terhadap pekerjaan dalam dunia teater. Untuk itu, pelajarilah dasar cara berperan menurut aliran sebenarnya; dasar itu adalah dasar penghayatan peran. Jangan ulangi kerja yang tidak berguna yang telah diperlihatkan. Terakhir, jangan biarkan diri menggambar apapun juga secara lahiriah yang tidak dihayati dalam batin dan yang bahkan tidak menarik perhatian sama sekali.
Publisitas dan aspek-aspek spektakuler teater telah membuat teater menarik banyak orang yang hanya menonjolkan kecantikannya atau membangun sebuah karier. Mereka menyalahgunakan kebodohan penonton, selera mereka yang buruk, kesukaan mereka untuk menyanjung-nyanjung, sukses palsu, dan banyak lagi cara lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan seni kreatif. Benalu-benalu ini adalah musuh yang paling berbahaya dan harus disingkirkan dari panggung. Harus dipastikan apakah datang ke teater untuk mengabdi pada seni dan berkorban untuknya atau untuk melaksanakan tujuan-tujuan pribadi? Seorang actor perlu sekali mengetahui batas-batas seni karena adanya penghayatan peran, penyajian peranan, permainan mekanis dan ekploatasi dalam seni. Selain itu, mulailah dengan kegiatan teater yang bertujuan untuk mengembangkan suara dan tubuh karena pengembangan manusia memerlukan latihan yang sistematis dan baik dalam jangka waktu yang lama
Bila dicermati paparan di atas, Ismet (2007:3) mengatakan ”Problematika teater, baik yang mengedepankan konsepsi baku maupun yang bersifat eksperimentasi, dalam pengejawantahannya akan selalu terkait dengan masalah kemanusiaan ”
Konsep di atas memperlihatkan kepada kita bahwa teater telah memberikan semacam penafsiran tentang kehidupan. Melalui teater, segala macam persoalan kehidupan dapat digambarkan dan dihidupkan kembali. Teaterawan yang kreatif akan menjadikan masalah kehidupan sebagai sumber ilham. Augusto Boal mengatakan ”teater merupakan manifestasi dari manusia untuk menilai atau mengamati dirinya sendiri, dalam berbagai tindakan, perbuatan, pikiran dan perasaan, melalui perbuatan yang dilakukan orang lain”. Oleh sebab itu, apapun konsepsi masyarakat tentang teater, dalam pembelajaran di sekolah-sekolah, di perguruan tinggi, atau di suatu organisasi teater yang berkembang di masyarakat, teater tetap harus menjadi sebuah realitas meskipun ia hidup dalam sebuah realitas yang aneh tapi nyata. Dikatakan demikian karena Arifin C. Noer (Ismet, 2007) lebih tegas lagi mengatakan ”Sutradara boleh mati tapi aktor tidak. Kalau aktor mati, teater akan ikut mati. Kalau teater mati niscaya masyarakat akan kesepian dan segera menjadi gila. Dan kalau masyarakat menjadi gila, teater palsu akan merajalela”.
Source:
Yusra D, in Proceeding of international seminar on Languages and Arts