Jenis-Jenis Pementasan

Gaya Pementasan Gaya dapat didefinisikan sebagai corak ragam penampilan sebuah pertunjukan yang merupakan wujud ekspresi dari:

  • Cara pribadi sang pengarang lakon dalam menerjemahkan cerita kehidupan di atas pentas
  • Konvensi atau aturan-aturan pementasan yang berlaku pada masa lakon ditulis.
  • Konsep dasar sutradara dalam mementaskan lakon yang dipilih untuk menegaskan makna tertentu.

Gaya penampilan pertunjukan teater secara mendasar dibagi ke dalam tiga gaya besar, yaitu presentasional, representasional (realisme), dan post-realistic (Mar Mc Tigue, 1992).

Presentasional

Hampir semua teater klasik menggunakan gaya ini dalam pementasannya. Gaya Presentasional memiliki ciri khas, “pertunjukan dipersembahkan khusus kepada penonton”. Bentuk-bentuk teater awal selalu menggunakan gaya ini karena memang sajian pertunjukan mereka benar-benar dipersembahkan kepada penonton. Yang termasuk dalam gaya ini adalah:

  • Teater Klasik Yunani dan Romawi
  • Teater Timur (Oriental) termasuk teater tradisional Indonesia
  • Teater abad pertengahan
  • Commedia dell’arte, teater abad 18

Unsur-unsur gaya presentasional adalah sebagai berikut:

  • Para pemain bermain langsung di hadapan penonton. Artinya, karya seni pemeranan yang ditampilkan oleh para aktor di atas pentas benar-benar disajikan kepada khalayak penonton sehingga bentuk ekspresi wajah, gerak, wicara sengaja diperlihatkan lebih kepada penonton daripada antarpemain.
  • Gerak para pemain diperbesar (grand style), menggunakan wicara menyamping (aside), dan banyak melakukan soliloki (wicara seorang diri).
  • Menggunakan bahasa puitis dalam dialog dan wicara.

Representasional (realisme)

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad 19, bersama itu pula teknik tata lampu dan tata panggung maju pesat sehingga para seniman teater berusaha dengan keras untuk mewujudkan gambaran kehidupan di atas pentas. Perwujudan dari usaha ini melahirkan gaya yang disebut representasional atau biasa disebut realisme. Gaya ini berusaha menampilkan kehidupan secara nyata di atas pentas sehingga apa yang disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi potongan cerita kehidupan yang sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton yang menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar menyerupai situasi sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.

Gaya realisme sangat mempesona karena berbeda sekali dengan gaya presentasional. Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam laku cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kejadian sesungguhnya. Unsur-unsur gaya representasional adalah sebagai berikut:

  • Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah sebuah kenyataan.
  • Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai pembatas imajiner antara penonton dan pemain.
  • Konvensi seperti wicara menyamping (aside) dan soliloki sangat dibatasi.
  • Menggunakan bahasa sehari-hari.

Gaya Post-Realistic

Dalam abad 20, seniman seni teater melakukan banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari batasan-batasan konvensi tertentu (presentasional dan representasional) dan berusaha memperluas cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon maupun penyutradaraan. Gaya ini membawa semangat untuk melawan atau mengubah gaya realisme yang telah menjadi konvensi pada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersendiri dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dan kreasi artistiknya. Banyak percobaan dilakukan sehingga pada masa tahun 1950-1970 di Eropa dan Amerika gaya ini dikenal sebagai gaya teater eksperimen. Meskipun pada saat ini banyak teater yang hadir dengan gaya realisme tetapi kecenderungan untuk melahirkan gaya baru masih saja lahir dari tangan-tangan kreatif pekerja seni teater. Banyak gaya yang dapat digolongkan dalam post-realistic, beberapa di antaranya sangat berpengaruh dan banyak di antaranya yang tidak mampu bertahan lama. Unsur-unsur gaya post-realistic di antaranya, adalah:

  • Mengkombinasikan antara unsur presentasional dan representasional.
  • Menghilangkan dinding keempat (the fourth wall), dan terkadang berbicara langsung atau kontak dengan penonton.
  • Bahasa formal, sehari-hari, puitis digabungkan dengan beberapa idiom baru atau dengan bahasa slank.

 

 

Source:

Eko Santosa, Seni Teater, Jakarta, 2008

Share
← Prev Project Back to Works Next Project →